Arsjad Rasjid: Ekonomi Sulteng Menyimpan Risiko
JAKARTA – Pengusaha nasional Arsjad Rasjid mengungkapkan bahwa tingginya pertumbuhan ekonomi Provinsi Sulawesi Tengah (Sulteng) berpotensi menyimpan risiko jika tidak dikelola dengan baik. Terutama, katanya, berkenaan dengan tenaga kerja.
“Saat ini wilayah tersebut, terutama ditopang oleh industri pengolahan dan pertambangan. Sementara penyerap tenaga kerja terbesarnya adalah sektor pertanian,” ungkapnya, Jumat (6/5).
Badan Pusat Statistik (BPS) mengungkap bahwa pada 2021, ekonomi Sulteng tumbuh 11,7% dibandingkan tahun sebelumnya (year on year/yoy). Dengan pencapaian itu, Sulteng tercatat sebagai provinsi dengan pertumbuhan ekonomi tertinggi kedua di Indonesia, setelah Maluku Utara.
Hanya segelintir sektor usaha yang kinerjanya telah pulih, bahkan lebih tinggi dari rata-rata sebelum pandemi (2011-2019). Di antaranya, penyediaan akomodasi dan makan minum tumbuh 13,5% (yoy), jauh melebihi rata-rata sebelum pandemi yang 6,6%.
Begitu pun dengan sektor konstruksi yang tumbuh tertinggi kedua setelah sektor industri pengolahan, yakni 16,9% (yoy). Angka tersebut lebih tinggi dari rata-rata pertumbuhan sebelum pandemi, yaitu 11,5%. Fenomena yang sama juga terjadi di sektor perdagangan serta jasa keuangan dan asuransi.
“Sementara sektor-sektor penopang utama ekonomi Sulteng, termasuk industri pengolahan, pertanian serta pertambangan dan penggalian, belum mampu tumbuh lebih tinggi dari rata-rata pertumbuhannya sebelum pandemi,” ungkap Arsjad.
Industri pengolahan, walaupun tumbuh tertinggi pada 2021 hingga mencapai 19,6% (yoy), namun masih di bawah rata-rata sebelum pandemi yang 19,8%. Padahal, sektor ini memiliki kontribusi terbesar terhadap perekonomian Sulteng, yaitu 33,8% pada 2021.
Sektor pertambangan dan penggalian sebagai penyumbang ketiga terbesar dengan kontribusi 14,1% hanya mampu tumbuh 12,3% (yoy), jauh di bawah rata-rata sebelum pandemi yang mencapai 18,3% (yoy).
“Fenomena ini mengindikasikan adanya pergeseran dari sektor-sektor utama ke sektor-sektor pertumbuhan yang baru,” paparnya.
Di antaranya sektor konstruksi yang hanya menyumbang 9,6% terhadap perekonomian Sulteng, namun pertumbuhannya pada 2021 mencapai 16,9%. Begitu pun dengan sektor penyediaan akomodasi dan makan minum, perdagangan, maupun jasa keuangan dan asuransi. Kontribusi sektor-sektor tersebut kecil, namun pertumbuhannya tinggi.
Hal lain yang perlu diwaspadai, kata Arsjad, soal penyerapan tenaga kerja. Saat ini, angkatan kerja terbesar di Sulteng masih beraktivitas di sektor pertanian yang rata-rata menyerap 42,3% per tahun sepanjang 2017-2021.
“Namun sektor ini masih belum pulih, karena pertumbuhannya masih di bawah rata-rata sebelum pandemi,” ujarnya.
Sementara industri pengolahan yang menjadi tumpuan harapan lapangan kerja serta peningkatan kesejahteraan bagi masyarakat setempat mengingat kontribusinya terhadap perekonomian Sulteng merupakan yang terbesar, belum banyak menyediakan lapangan kerja bagi warga setempat. Pada 2021, daya serapnya hanya 6,6% dari seluruh orang yang bekerja di provinsi tersebut.
Dalam kondisi seperti ini, lanjut Arsjad, Pemerintah Daerah memiliki peran penting untuk merespons perkembangan tersebut. Misalnya, memperluas ruang penyerapan tenaga kerja bagi masyarakat di wilayahnya, seperti pada industri pengolahan yang sedang marak di provinsi tersebut.
Selain itu, Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia ini menyarankan agar pemerintah setempat memberikan perhatian pada sektor pertanian yang menyerap hampir separuh tenaga kerja di Sulteng. Jika diabaikan, berpotensi akan mempengaruhi kondisi sosial di Sulteng.
“Jangan sampai terjadi ketimpangan,” katanya sambil menguraikan, “Kinerja sektor yang dominan menyerap tenaga kerja tumbuh lambat, sementara yang memiliki daya serap rendah terhadap tenaga kerja justru tumbuh tinggi.”