Pentingnya Kebijakan Relaksasi Sektor Industri Konstruksi
JAKARTA–Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia menilai kebijakan relaksasi sangat penting untuk menjaga keberlangsungan sektor industri konstruksi. Kadin merekomendasikan agar Pemerintah menerbitkan relaksasi persyaratan perizinan berbasis risiko yang diatur dalam PP Nomor 05/2021.
Rekomendasi itu muncul dalam pertemuan 13 asosiasi badan usaha konstruksi yang dipimpin oleh Ketua Umum Kadin Indonesia, Arsjad Rasjid di Jakarta, Jumat (29/7/2022).
Asosiasi tersebut adalah GAPENSI (Gabungan Pelaksana Konstruksi Nasional Indonesia), INKINDO (Ikatan Nasional Konsultan Indonesia), AABI (Asosiasi Aspal Beton Indonesia) GAPEKNAS (Gabungan Pengusaha Konstruksi Nasional Indonesia), AKTI (Asosiasi Kontraktor Terintegrasi Indonesia), PERKINDO (Persatuan Konsultan Indonesia).
Lalu, GAPEKSINDO (Gabungan Perusahaan Konstruksi Nasional Indonesia), ASPEKNAS (Asosiasi Pelaksana Konstruksi Nasional), AKI (Asosiasi Kontraktor Indonesia), GAPENRI (Gabungan Perusahaan Nasional Rancang Bangun Indonesia), AKTI (Asosiasi Kontraktor Terintegrasi Indonesia), ASPEKINDO (Asosiasi Pengusaha Konstruksi Indonesia), dan ASKONAS (Asosiasi Kontraktor Nasional).
Pertemuan itu membahas permasalahan iklim usaha sektor industri konsutruksi nasinal yang sedang dihadapi oleh Badan Usaha Jasa Konstruksi. Kegiatan ini juga merupakan bentuk kolaborasi antara Kadin Indonesia dengan asosiasi Badan Usaha Jasa Konstruksi.
“Kadin melihat dengan diterbitkan relaksasi peraturan perundang undangan tersebut, dapat menjadi stimulus dalam menumbuhkembangkan usaha jasa konstruksi khususnya untuk Badan Usaha Jasa Konstruksi dari golongan kecil dan menengah,” ujar Wakil Ketua Umum Bidang Pekerjaan Umum, Perumahan Rakyat dan Infrastruktur Kadin, Insannul Kamil.
Relaksasi tersebut termasuk penambahan masa berlaku Sertifikat Badan Usaha dari 3 tahun menjadi 9 tahun ke belakang; penggunaan rekaman kontrak kerja konstruksi sebagai bukti pengalaman pekerjaan lebih dari satu sub-klasifikasi; diberlakukannya persyaratan kemampuan keuangan sebagai persyaratan kualifikasi Badan Usaha dan bukan per sub-klasifikasi; serta jumlah tenaga kerja konstruksi sebagai Penanggung Jawab Subklasifikasi Badan Usaha (PJSKBU) sebanyak satu orang dapat dipergunakan untuk memenuhi persyaratan 5 (lima) sub-klasifikasi SBU pada klasifikasi yang sama.
Pemerintah juga diharapkan untuk dapat memberikan kemudahan atas persyaratan pemenuhan tenaga kerja bersertifikat (SKK) untuk kualifikasi Kecil dengan menyampaikan surat pernyataan komitmen pemenuhan ketersediaan tenaga kerja bersertifikat hingga 31 Desember 2023 sambil menunggu tindak lanjut Amar Keputusan Mahkamah Konstitusi tentang perubahan UU Nomor 11 tahun 2020 beserta peraturan turunannya.
Pemerintah juga diharapkan dapat meningkatkan jumlah LSP (Lembaga Sertifikasi Profesi). Saat ini jumlah LSP yang sudah beroperasi masih sangat sedikit dibandingkan dengan kebutuhan jumlah tenaga kerja yang dipersyaratkan di seluruh jenjang.
Dari data per 8 Juni 2022, LSP baru bisa memproduksi 7.373 orang pemegang Sertifikasi Kompetensi Kerja (SKK) untuk semua jenjang, jika kebutuhan Standar Kompetensi Kerja dari setiap Badan Usaha sesuai PP 05/2021 adalah minimal satu orang Penanggung Jawab Teknik Badan Usaha (PJTBU) dan satu orang Penanggung Jawab Sub-klasifikasi Badan Usaha (PJSKBU).
Saat ini jumlah Badan Usaha aktif data di Lembaga Pengembangan Jasa Konstruksi (LPJK) adalah 100.000 jika masing-masing badan usaha perlu dua pemegang SKK maka diperlukan setidak-tidaknya 200.000 pemegang SKK.
Percepatan penambahan penyusunan Standar Kompetensi Kerja Nasional Indonesia (SKKNI) pada jenjang jabatan kerja tertentu juga sangat diperlukan untuk PJTUB dan PJSKBU pada jenjang 6 dan 5 dalam rangka pemenuhan persyaratan SKK badan usaha kualifikasi kecil.
Dalam pertemuan itu, kata Insannul, para ketua asosiasi badan usaha jasa konstruksi mengemukakan dua permasalahan pelik yang saat ini sedang dihadapi oleh industri jasa konstruksi nasional.
Pertama, persyaratan yang memberatkan pengusaha jasa konstruksi Terkait pelaksanaan UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja dan PP Nomor 05 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Perizinan Berusaha Berbasis Resiko, mayoritas Badan Usaha mengalami kesulitan dalam mengurus Sertifikat Badan Usaha (SBU).
Kedua, inflasi global yang berdampak pada harga operasional konstruksi. Selain beratnya persyaratan dan peraturan yang ada, saat ini situasi dan kondisi ekonomi Indonesia mulai terganggu diakibatkan oleh kenaikan harga komoditas energi dan pangan global. Hal ini berdampak negatif pada penyelenggaraan kegiatan ekonomi di masyarakat termasuk sektor jasa konstruksi.
Kenaikan harga ikut mendorong kenaikan harga material, biaya transportasi dan biaya pendukung lainnya, sehingga menyebabkan kontrak yang telah disepakati berisiko tidak dapat diselesaikan.
Untuk itu, Kadin dan asosiasi Badan Usaha Jasa Konstruksi mengajukan permohonan kepada Menteri PUPR untuk menerbitkan kebijakan penyesuaian harga (eskalasi) proyek jasa konstruksi agar kualitas pembangunan produk konstruksi tetap terjaga dengan baik.
“Hal ini penting untuk dilakukan guna menyelamatkan pengusaha jasa konstruksi untuk tetap dapat melaksanakan usaha secara sehat, membangun infrastruktur yang berkualitas, serta menciptakan lapangan kerja untuk kesejahteraan rakyat Indonesia,” kata Insannul.