Arsjad: Industri Kesehatan Harus Inklusif dan Kolaboratif
JAKARTA – Pengusaha nasional Arsjad Rasjid mengungkapkan pentingnya membangun arsitektur industri kesehatan yang inklusif dan kolaboratif agar tercipta pemerataan manfaat dalam pembangunan ekonomi.
Pernyataan tersebut disampaikan dalam dialog tentang “G20 Trade, Investment, and Industry Working Group” yang dihadiri antara lain oleh Menteri Investasi Bahlil Lahdalia dan Mahendra Siregar, Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan (OJK) yang digelar minggu lalu.
Arsjad mengungkapkan, dalam dua tahun terakhir semasa pandemi Covid-19, pihaknya menyaksikan bahwa negara-negara dengan modal lebih besar menangguk keuntungan yang sangat besar. Mulai dari pengadaan vaksin, akses ke perangkat medis vital, hingga obat-obat untuk penyelamatan jiwa.
Pada saat bersamaan, negara-negara yang lemah dari sisi anggaran menghadapi kesulitan dalam menangani krisis kesehatan. “Padahal, tanpa adanya pemulihan kesehatan global, kita akan sulit keluar dari krisis akibat pandemi,” ujarnya.
Dengan alasan itu, Arsjad mengingatkan pentingnya arsitektur kesehatan global guna memastikan terciptanya perekonomian global yang tangguh. Saat ini, dia menegaskan, dunia saling terhubung. Tidak ada yang dapat berdiri sendiri.
Selain itu, selama menghadapi pandemi Covid-19 yang mulai masuk Indonesia pada Maret 2020, pengembangan digital juga sangat membantu sektor kesehatan. Jutaan orang di Indonesia bisa mendapatkan informasi tentang kesehatan, bahkan mendapatkan perawatan yang dibutuhkan dengan cepat.
Dukungan sektor digital tersebut, antara lain melalui telemedicine. Begitu juga dengan catatan medis dan kesehatan elektronik, serta pemantauan kondisi kesehatan. “Indonesia membutuhkan lebih banyak investasi dalam hal ini,” ungkapnya.
Untuk itu, Arsjad menegaskan, jaringan bisnis negara-negara G20 perlu memunculkan inisiatif yang dapat membantu negara-negara dengan kemampuan terbatas agar pulih dari dampak krisis kesehatan. Upaya ini akan menegaskan posisi arsitektur kesehatan global yang inklusif dan kolaboratif.
Inklusif tercipta melalui penerima manfaatnya yang bukan hanya negara-negara dengan anggaran besar, tetapi juga negara dengan keterbatasan anggaran. Sedangkan kolaboratif terlahir dari inisiatif melalui kerja sama negara-negara anggota G20.
“Semuanya harus bersanding demi menciptakan kondisi global yang tangguh dari tekanan krisis,” tegasnya.
Untuk kasus Indonesia, Arsjad yang saat ini menjadi Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia mengingatkan pentingnya peran pemerintah dalam mendukung gairah di sektor kesehatan. Dukungan itu, terutama melalui kebijakan, baik dari sisi fiskal maupun non-fiskal agar para investor tertarik.
Apalagi, saat ini pemerintah masih memberlakukan kebijakan subsidi di bidang kesehatan bagi masyarakat. Dengan bergantung pada impor, beban pemerintah jadi berganda. Tekanan pada neraca perdagangan, sekaligus subsidi yang terus berjalan. Padahal, jika industrinya dibangun di dalam negeri, beban pemerintah akan berkurang.
“Saya mengajak dunia usaha untuk duduk bersama pemerintah dalam rangka merealisasikan rencana strategis ini, seperti yang telah diamanatkan oleh Presiden Joko Widodo agar mengembangkan industri kesehatan dalam negeri,” tegas Arsjad.