Arsjad Ingatkan Dampak Resesi Amerika

Jakarta – Perekonomian Amerika Serikat sedang mengalami tekanan kuat, terutama akibat inflasi tahunannya yang sangat tinggi, yaitu 8,6% pada Mei 2022. Banyak pengamat di tingkat global yang meyakini bahwa negara tersebut sedang menuju resesi.

Bahkan jajak pendapatan The Economist/ YouGov  bulan lalu mengungkap bahwa 56% responden percaya ekonomi Amerika sedang menuju resesi. Hanya 22% yang tidak sepakat, namun 22% lainnya merasa belum yakin.

“Bagi kita, ini bukan sekadar krisis di Amerika. Dampaknya bisa merembet ke banyak negara termasuk Indonesia. Karena itu harus diantisipasi sejak dini,” ujar pengusaha nasional Arsjad Rasjid, Rabu (29/6/2022).

Sebagai respons terhadap inflasi yang tertinggi dalam 40 tahun terakhir itu, bank sentral Amerika, The Federal Reserve (The Fed) terus menaikkan suku bunga. Hingga pertengahan tahun ini suku bunga acuannya telah berubah empat kali, hingga menjadi 1,58% pada Juni 2022.

Kenaikan suku bunga pada Juni ini bukan yang terakhir. Kata Jerome Powell, Gubernur The Fed sekaligus Ketua Federal Open Market Committee (FOMC), target yang ingin dicapai dari pengetatan moneter adalah menarik turun inflasi hingga di angka 2%.

Menurut Arsjad, dengan tingginya suku bunga Amerika, investasi di portofolio berpotensi keluar dari Indonesia, karena dolar lebih menarik. Situasi ini akan memberi tekanan pada nilai tukar rupiah dan cadangan devisa.

“Tentu saja ancaman dari krisis di Amerika tidak berhenti sampai di situ. Persoalan ekspor juga perlu diwaspadai,” tutur Arsjad, yang saat ini menjabat sebagai Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia.

Soal perdagangan, data UNComtrade mengungkapkan bahwa nilai ekspor Indonesia ke Amerika Serikat rata-rata sekitar US$19,7 miliar per tahun dalam kurun waktu 2017-2021. Ketika Amerika mengalami krisis apalagi resesi, daya serap pasarnya akan melemah, sehingga barang-barang dari Indonesia akan kehilangan pasar.

Situasi tersebut akan memberikan tekanan bagi perekonomian Indonesia. Dengan melemahnya daya serap pasar, maka tingkat produksi akan mengalami penurunan.

“Ancaman selanjutnya adalah penyerapan tenaga kerja serta penerimaan negara dari pajak,” ungkapnya. Apalagi, lanjutnya, mayoritas barang yang diekspor ke Amerika adalah pakaian dan aksesorinya yang merupakan industri padat karya.

Risiko terhadap melemahnya penyerapan tenaga kerja selain dari penurunan produksi, juga bisa datang dari investasi. Jika Amerika krisis, dunia usahanya akan menahan ekspansi, sehingga investasinya di Indonesia pun bisa terkena dampaknya.

Untuk menghadapi ancaman tersebut, Arsjad mengusulkan, saat ini yang terpenting adalah menjaga ketahanan ekonomi masyarakat. Daya belinya perlu dijaga jangan sampai menurun, karena akan memberi tekanan tambahan terhadap perekonomian.

Untuk itu, Arsjad menyambut baik janji Presiden Joko Widodo yang menyatakan tetap mempertahankan subsidi bahan bakar minyak (BBM) dan listrik. “Ini sangat penting demi menjaga ketahanan ekonomi masyarakat,” tegasnya.