Arsjad Ingatkan Pentingnya Hilirisasi

JAKARTA – Ketergantungan Indonesia pada ekspor bahan mentah hingga saat ini masih sangat tinggi. Akibatnya, nilai tambah dari komoditas tersebut jadi milik negara lain yang mengolah komoditas terkait.

Tak hanya itu, pengusaha nasional Arsjad Rasjid mengingatkan, kecenderungan mengekspor dalam bentuk mentah menjadi salah satu penyebab terhambatnya perkembangan industri pengolahan di Indonesia, khususnya komoditas pertambangan dan penggalian. “Tapi ketergantungan terhadap ekspor mentah dan siklusnya akan terus berulang jika tidak ada gebrakan yang memutusnya,” ungkapnya pada Minggu (22/5).

Pada kuartal I-2022, seperti diungkapkan Badan Pusat Statistik (BPS), ekspor telah memberikan sumbangan besar bagi kinerja perekonomian nasional yang mulai pulih dengan tumbuh tinggi, yaitu 5,01% (yoy). Dari angka pertumbuhan itu, 3,55% di antaranya adalah sumbangan ekspor.

Meski demikian, dibandingkan dengan triwulan sebelumnya atau quarter to quarter (qtq), kinerja ekspor barang dan jasa justru menyusut sebesar 3,2%. Hal itu ditengarai lantaran adanya kebijakan larangan ekspor beberapa komoditas nasional.

Kontribusi beberapa komoditas ekspor nasional tercatat mengalami penurunan selama satu dasawarsa terakhir. Di antaranya, bahan bakar minyak; biji mentah logam mineral pertambangan; serta komoditas karet dan barang turunannya. Sebaliknya, kontribusi komoditas kendaraan darat selain kereta api, dan bagian serta aksesorinya; lemak dan minyak hewani atau nabati; mutiara alam, mutiara budidaya, batu dan logam mulia; serta besi dan baja justru mengalami peningkatan dari tahun 2010 ke 2020.

“Untuk itu, hilirisasi industri mutlak dilakukan, baik untuk komoditas mineral maupun nonmineral,” ungkap Arsjad.

Hilirisasi, katanya, berpeluang menghasilkan produk bernilai jual lebih tinggi, sehingga dapat menambah nilai ekspor komoditas Indonesia. Struktur industri dalam negeri juga akan semakin kuat dan mampu meningkatkan peluang usaha, sehingga dapat menyediakan lebih banyak lapangan kerja.

Terlebih, kata Arsjad, tren ekonomi dunia ke depan berorientasi pada perlindungan lingkungan hidup atau ekonomi hijau. Kondisi itu akan mendorong tumbuhnya industri berbasis energi ramah lingkungan, seperti kendaraan listrik, baterai listrik. Indonesia memiliki sumber daya terbesar untuk bahan bakunya, yakni nikel.

Hilirisasi industri juga dapat difokuskan pada komoditas-komoditas ekspor yang dapat menjadi alternatif pengganti beberapa komoditas ekspor Indonesia yang kontribusinya terus menurun. Misalnya, dengan masuk ke dalam pasar komoditas-komoditas yang sedang banyak diimpor oleh dunia saat ini, seperti mesin dan perlengkapan elektrik; mutiara alam, mutiara budidaya, batu dan logam mulia; serta produk farmasi. Langkah tersebut bukan tidak mungkin dilakukan.

“Indonesia memiliki potensi besar pada komoditas-komoditas tersebut,” paparnya.

Arsjad juga mengingatkan bahwa dunia usaha, Kadin, dapat lebih berperan aktif dan berkontribusi lebih banyak dalam mewujudkan hilirisasi industri dalam negeri. Namun dia menyadari, upaya tersebut akan berjalan dengan dukungan dan kesungguhan pemerintah. Karena itu, pemerintah diharapkan dapat lebih tegas dalam melaksanakan kebijakan yang telah ditetapkan, termasuk larangan ekspor.

“Tarik ulur pemerintah dalam hal ini dikhawatirkan menjadi disinsentif bagi dunia usaha dalam mengembangkan hilirisasi industri di dalam negeri,” katanya.