Arsjad Rasjid Dorong Hilirisasi Demi Memperkuat Perekonomian Nasional
JAKARTA–Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (KADIN) Indonesia, Arsjad Rasjid mendukung penuh kebijakan hilirisasi yang terus didengungkan oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi). Kebijakan ini merupakan bagian dari upaya industrialisasi yang dapat memberikan dampak positif bagi perekonomian.
“Pada prinsipnya, dunia usaha akan patuh pada kebijakan pemerintah, termasuk mendorong pertumbuhan industri melalui kebijakan hilirisasi demi memperkuat perekonomian nasional,” ujar Arsjad dalam keterangannya, Selasa (27/9/2022).
Setelah resmi melarang ekspor bijih nikel, pemerintah sedang melakukan kajian untuk melarang ekspor komoditas tambang lainnya, seperti timah dan bauksit. Rencananya, pelarangan itu akan diterapkan pada tahun 2023.
Dalam pandangan Arsjad, kegiatan hilirisasi akan menghasilkan produk hasil industri, sehingga Indonesia memiliki nilai tambah. Selama ini, hasil komoditas alam banyak yang dijual mentah, sehingga nilai tambahnya diperoleh negara lain. “Kebijakan pemerintah di bidang hilirisasi bisa dikatakan sebagai evaluasi atas yang terjadi selama ini,” ujar Arsjad.
KADIN telah menggelar Focus Group Discussion (FGD) dengan tema Rencana Larangan Ekspor Logam Timah di Akhir Tahun 2022, pada Kamis (22/9/22). Pjs Wakil Ketua Umum Bidang ESDM Kadin Indonesia, Carmelita Hartoto menyebutkan rencana hilirisasi timah sangat positif bagi peningkatan nilai tambah sektor minerba. Namun demikian diperlukan kesiapan penambang, smelter hingga industri manufaktur agar larangan ekspor timah tidak mengganggu kinerja sektor timah.
“KADIN Indonesia mendukung penuh hilirisasi ini, namun hilirisasi timah ini harus dilakukan secara bertahap. Dalam melakukan hilirisasi, pelaku usaha membutuhkan persiapan yang matang dan modal yang cukup, di mana artinya pelaku usaha memerlukan waktu kurang lebih 10 tahun jika ingin hilirisasi yang optimal. Tak hanya itu, dalam melakukan hilirisasi juga diperlukan roadmap yang jelas,” ucap Carmelita.
Carmelita menegaskan KADIN Indonesia sebagai payung dari dunia usaha Indonesia dan mitra strategis pemerintah, berharap agar pemerintah terus menggenjot infrastruktur hilirisasi sehingga hilirisasi sumber daya alam (SDA) secara bertahap bisa dilakukan. Selain itu, pemerintah juga diharapkan bisa memberikan sejumlah insentif seperti pembebasan pajak dan mempermudah perizinan operasi bagi perusahaan luar dan dalam negeri.
Persiapan infrastruktur dan insentif dinilai dapat menarik investor, serta menjamin kedua mineral tersebut terserap pasar domestik. Hilirisasi ini juga membutuhkan roadmap sebagai guidelines/petunjuk bagi para pelaku usaha.
Menteri Investasi/Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Bahlil Lahadalia memahami aspirasi pengusaha yang meminta hilirisasi timah dilakukan secara bertahap. Ia menuturkan pengalamannya saat awal menjabat sebagai Kepala BKPM di mana kala itu ia menyetop ekspor nikel.
Bahlil mengaku, sebagai mantan pengusaha tambang nikel, akan sangat merugi dengan kebijakan larangan ekspor. Namun, ia menyadari bahwa sudah saatnya Indonesia membangun hilirisasi.
“Kita harus membangun hilirisasi. Banyak tantangan. Satu setengah bulan orang demo saya di sini, nanti potensi pendapatan negara hilanglah, inilah, macam-macam. Dan itu pengusaha. Saya kan mantan ketua Hipmi, jadi tahu bagaimana caranya mem-pressure (menekan) pemerintah,” kata Bahlil.
Bahlil mengatakan pemerintah terus mendorong hilirisasi mineral dengan melakukan penataan ekspor dan menebar insentif investasi. Dalam penataan ekspor, Bahlil mencontohkan pemerintah hanya akan mengizinkan pengusaha yang sudah memiliki smelter untuk bisa melakukan ekspor.
“Skemanya mungkin yang pertama adalah, orang yang bisa melakukan ekspor adalah pengusaha yang sudah punya smelter, atau 80 persen sudah bangun smelter. Jangan pakai cara saya dulu. Saya dulu bilang saya akan bangun smelter, tapi itu sebenarnya hanya taktik saya untuk dapat kuota ekspor. Jadi cara-cara lama tidak bisa lagi dipakai,” katanya.
Upaya selanjutnya, yakni menebar insentif kepada perusahaan yang melakukan hilirisasi di sektor pertambangan. “Termasuk timah. Capex (belanja modal) timah itu lebih murah ketimbang membangun hilirisasi nikel,” kata Bahlil.
Setelah resmi melarang ekspor bijih nikel, pemerintah sedang melakukan kajian untuk melarang ekspor komoditas tambang lainnya, seperti timah dan bauksit. Rencananya, pelarangan itu akan diterapkan pada tahun 2023. Larangan ekspor ore nikel kini sedang digugat di level global.
Untuk menaikkan posisi tawar dalam menghadapi kecaman global itu, Bahlil mengatakan pemerintah memanfaatkan presidensi G20 dan mendorong lahirnya kesepakatan Bali Compendium. Lewat dokumen itu, negara berkembang dibebaskan merumuskan langkah kebijakan investasi masing-masing, termasuk melakukan hilirisasi sumber daya alam agar lebih bernilai tambah.
Konsensus untuk melahirkan dokumen Bali Compendium itu dicapai dalam pertemuan menteri investasi, perdagangan dan industri G20 (Trade, Investment, and Industry Ministerial Meeting/TIIMM) yang digelar di Nusa Dua, Bali, pekan lalu.
Bahlil mengatakan, kesepakatan itu akan menjadi “senjata” andalan dalam menghadapi gugatan Uni Eropa di Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) terkait kebijakan Indonesia melarang ekspor ore nikel serta potensi gugatan lain di masa mendatang jika Indonesia memutuskan melarang ekspor komoditas minerba lainnya.
“Selama ini, ada kesan seolah negara besar mendikte negara berkembang untuk mengikuti arah kepentingan mereka. Dengan ini, tidak boleh lagi ada yang melarang kita untuk melarang ekspor komoditas kita, karena mereka sudah terikat kesepakatan. Ini jadi secercah harapan untuk tidak mundur sekalipun kita dibawa ke WTO,” kata Bahlil.
Bahlil, menambahkan Indonesia merupakan penghasil timah terbesar kedua dunia setelah China. Namun Indonesia merupakan eksportir timah terbesar di dunia.
“China itu 80 persen produk timahnya dibangun di negaranya, dibangun hilirisasi. Kita ini enggak. Sudah barangnya punya kita, harganya pun dikendalikan oleh negara lain. Ini otak kita ditaruh di mana. Jadi saya menghargai pemikiran teman-teman saya di Kadin, tapi saya tidak terbuai dengan pemikiran yang tidak berpihak pada kepentingan negara,” kata Bahlil.