Arsjad Rasjid: Genjot Komoditas Unggulan Agar Neraca Perdagangan RI-Tiongkok Surplus

JAKARTA–Tiongkok merupakan mitra strategis bagi Indonesia dengan nilai ekspor maupun impor tinggi dibandingkan negara lainnya. Total nilai perdagangan kedua negara tersebut terus mengalami peningkatan setiap tahunnya. Hanya saja, neraca perdagangan Indonesia dengan China selalu mengalami defisit dalam sedekade terakhir.

Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia, Arsjad Rasjid mengatakan, Tiongkok merupakan mitra strategis perdagangan Indonesia. Berdasarkan data Kementerian Perdagangan, pada semester I-2022, nilai total perdagangan Indonesia-Tiongkok mengalami pertumbuhan sebesar 27,6% menjadi sekitar US$ 72,38 miliar, dibanding periode yang sama 2021. Jika melihat tren dalam lima tahun terakhir (2017-2021), pertumbuhan nilai total perdagangan Indonesia-Tiongkok sekitar 13,13% per tahun.

Kenaikan total perdagangan tersebut, lanjut Arsjad, sayangnya tidak diimbangi dengan kenaikan surplus neraca perdagangan. Defisit neraca perdagangan Indonesia-Tiongkok bersumber dari neraca nonmigas. Impor barang nonmigas dari Tiongkok lebih besar dibandingkan dengan ekspor. Pada periode Januari-Juli 2022, defisit neraca perdagangan Indonesia-Tiongkok mencapai US$4,1 miliar.

Komoditas dengan nilai impor terbesar dari Tiongkok, antara lain, berasal dari tiga kelompok barang. Pertama adalah mesin, peralatan mekanik, reaktor nuklir, boiler, dan bagian-bagiannya. Kedua, mesin dan peralatan listrik dan bagiannya, serta perekam dan reproduksi suara dan televisi. Ketiga, besi dan baja.

Dari kelompok barang tersebut, sebagian besar komoditas impor Indonesia merupakan bahan baku produksi atau barang-barang berteknologi. Hal ini dikarenakan, produk-produk dari Tiongkok memiliki banyak keragaman dan juga memiliki harga yang lebih rendah dibanding produk yang sama dari produsen domestik, sehingga masyarakat lebih banyak memilih barang impor dari Tiongkok.

Arsjad menegaskan Tiongkok merupakan pasar yang besar jika dilihat dari jumlah penduduk. “Oleh karena itu, untuk mengurangi defisit neraca perdagangan, maka Indonesia harus bisa meningkatkan ekspor komoditas-komoditas unggulan yang memiliki daya saing tinggi dan produk-produk yang tidak dimiliki oleh Tiongkok,” ucap Arsjad.

Arsjad mengatakan, ekspor terbesar Indonesia ke Tiongkok adalah olahan besi dan baja, misalnya ferro alloys dan baja tahan karat. Selain itu, berasal dari kelompok komoditas lemak dan minyak yang didominasi oleh minyak sawit dan margarin. Jadi, untuk membuat surplus neraca perdagangan nonmigas dengan Tiongkok, maka Indonesia harus bisa meningkatkan ekspor komoditas unggulan tersebut. Selain itu, memperluas pasar ekspor di Tiongkok untuk komoditas-komoditas yang memiliki daya saing tinggi.

Berdasarkan data Kementerian Perdagangan, defisit neraca perdagangan nonmigas Indonesia-RRT mulai berkurang pada 2020. Penurunan defisit pada 2021-periode tahun berjalan 2022 mencapai sekitar 16,29%.

Dengan demikian, Arsjad mengatakan, ada optimisme neraca perdagangan Indonesia akan mengalami balance bahkan surplus dengan Tiongkok. Jika penurunan defisit neraca nonmigas per tahun bisa diupayakan sekitar 15%-20%, maka membutuhkan 4 hingga 5 tahun, Indonesia akan mengalami keseimbangan bahkan surplus dengan Tiongkok.

“Namun untuk itu, usaha peningkatan daya saing dan peningkatan pangsa pasar produk-produk dalam negeri harus terus dilakukan,” kata Arsjad.

Secara keseluruhan, neraca perdagangan Indonesia terus mengalami perbaikan. Neraca perdagangan Indonesia Agustus 2022 mengalami surplus US$5,76 miliar. Dengan surplus neraca perdagangan itu mempertahankan rekor surplus selama 28 bulan berturut-turut sejak Mei 2020. Nilai ekspor US$27,91 miliar juga tercatat sebagai ekspor tertinggi sepanjang masa.

Surplus yang diperoleh dari transaksi perdagangan sektor nonmigas sebenarnya lebih tinggi, yakni US$7,74 miliar, namun tereduksi oleh defisit perdagangan sektor migas US$1,98 miliar. Selama Januari–Agustus 2022, meskipun sektor migas mengalami defisit US$16,75 miliar, namun masih terjadi surplus pada sektor nonmigas US$51,67 miliar, sehingga secara total mengalami surplus US$34,92 miliar.

Berdasarkan data Kementerian Perdagangan, neraca perdagangan Indonesia mengalami defisit dalam berdagang dengan 10 negara anggota G20. Indonesia mencatat defisit perdagangan dengan Australia, Saudi Arabia, Argentina, Tiongkok, Brasil, Kanada, Afrika Selatan, Korea Selatan, Jerman dan Prancis.