Arsjad Rasjid Uraikan Tantangan Pengembangan EBT
JAKARTA – Pengusaha nasional Arsjad Rasjid mengungkapkan, potensi ekonomi dalam pengembangan energi baru dan terbarukan (EBT) sangat besar, sehingga mampu berkontribusi pada perekonomian nasional. “Tentu tak kalah pentingnya adalah ramah lingkungan, sehingga tercipta pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan,” ujarnya, Jumat (28/7/2022).
Potensi energi hijau yang dapat dikembangkan, antara lain energi surya, pembangkit listrik tenaga air, panas bumi dan angin. Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) juga telah membuat skenario pembangunan rendah karbon (PRK). Untuk skenario tinggi, diharapkan dapat menghasilkan tingkat pertumbuhan ekonomi rata-rata yang berkelanjutan sebesar 5,6% hingga tahun 2024, dan 6,0% hingga tahun 2045.
Menurut Arsjad yang juga menjabat sebagai Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia, pembangunan EBT berpotensi menambahkan Rp5,4 triliun ke Produk Domestik Bruto (PDB). Lingkungan juga makin ramah, bahkan berpotensi mencegah hilangnya jutaan hektare lahan hutan.
Dalam dokumen yang dikeluarkan oleh Bappenas, pembangunan ramah lingkungan tersebut juga diharapkan mampu menghasilkan pengurangan emisi gas rumah kaca (GRK) sekitar 43% di tahun 2030. Perbaikan kualitas udara dari ekonomi hijau juga berpeluang besar menurunkan tingkat kematian setiap tahun.
“Pengembangan ekonomi ramah lingkungan ini juga dapat diterapkan pada pembangunan dan pengembangan IKN (Ibu Kota Negara),” ungkapnya.
Kendati demikian, Arsjad menjelaskan, untuk mewujudkan pembangunan EBT yang ramah lingkungan itu, masih ada kendala besar yang dihadapi. Terutama terkait dengan pendanaan dan teknologi. Karena itu, katanya, prinsip kolaboratif sangat penting untuk diterapkan sehingga memberikan hasil yang inklusif.
“Kerja sama dan kemitraan antara pemerintah dan swasta dapat menjadi kunci dalam menghadapi kedua tantangan tersebut.,” tegasnya.
Dia juga berharap pemerintah mempertimbangkan kebijakan fiskal, seperti pemberian insentif semacam pajak dan tarif juga penting untuk mengakselerasi pemberdayaan EBT di Indonesia. Jika proyek EBT lebih kompetitif dibandingkan energi fosil, maka akan membentuk pasar yang menarik bagi investor.
Selain itu, lanjut Arsjad, pengembangan EBT juga memerlukan teknologi selain tantangan pendanaan. Kolaborasi negara maju dan berkembang dapat mengatasi masalah ini. Karena itu, forum B20-G20 menjadikan energi hijau sebagai salah satu tema penting yang dibahas dan dicarikan solusinya.
“Selain itu, kami dari dunia usaha berharap agar kualitas dan kompetensi SDM industri hijau ini bisa terus ditingkatkan,” katanya.