JAKARTA–Menguasai sepertiga dari total cadangan nikel dunia, Indonesia tidak memperlakukan secara istimewa negara-negara tertentu dalam mengeksplorasi kekayaan alam tersebut. Indonesia selalu terbuka untuk bekerja sama dengan pihak manapun dari negara manapun dengan tujuan untuk membawa nilai tambah bagi perekonomian nasional.
Ketua Kamar Dagang dan Industri (KADIN) Indonesia Arsjad Rasjid menyesalkan sikap Amerika Serikat yang mendiskreditkan mineral kritis Indonesia dari paket subsidi Amerika Serikat untuk teknologi hijau. Kebijakan tersebut mempersulit Indonesia dalam bekerja sama dengan berbagai pihak dari Negeri Paman Sam terkait pengembangan energi bersih berbasis kendaraan listrik.
“Alasan yang digunakan Amerika Serikat sehingga baterei yang mengandung komponen sumber Indonesia tidak memenuhi syarat untuk kredit pajak Inflation reduction rate (IRA) secara penuh adalah karena Indonesia belum memiliki perjanjian perdagangan bebas dengan AS dan dominasi perusahaan China dalam industri nikel di Indonesia,” ujar dia.
Arsjad menegaskan, apabila AS ingin berperan serta dalam pengembangan hilirisasi industri nikel di Tanah Air, kesempatan tersebut sangat terbuka lebar. Pihaknya bahkan memberikan karpet merah untuk pelaku usaha, pebisnis, dan perusahaan asal AS yang nyatanya telah menjadi pionir dalam kendaraan listrik. Namun, kesempatan tersebut belum kunjung terjadi.
“Sikap AS seharusnya tidak demikian terhadap Indonesia karena Indonesia memiliki cadangan strategis terkait pengembangan kendaraan listrik ke depan. Bagi Indonesia, China dan AS memiliki posisi yang sama, tergantung dari pihak mana yang mau bekerja sama dengan Indonesia sesuai aturan main yang ada,” tegasnya.
Seperti diketahui, AS dan China selalu berada dalam persaingan global dalam hal ekonomi. Akibat dari persaingan tersebut, hubungan kedua negara selalu berada di zona pasang surut, dan terlibat dalam persaingan-persaingan di luar koridor ekonomi. Kedua negara bahkan menciptakan kubu-kubu, seolah-olah negara lain menjadi sekutu dekat bagi pihak lainnya.
Menurut Arsjad, Indonesia adalah teman bagi semua pihak, baik itu China, Eropa, Amerika. Pihaknya selalu mendorong adanya portofolio yang inklusif bagi semua negara, dalam mendukung transisi global menuju pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan dan inklusif. Tidak ada yang diistimewakan kecuali yang diatur dalam kesepakatan kerja sama baik di tingkat bisnis, baik swasta maupun pemerintahan.