Hilirisasi Timah, Pengusaha-Pemerintah Harus Satu Persepsi
JAKARTA–Selangkah lagi Indonesia akan melarang ekspor timah menyusul kebijakan hilirisasi yang akan diterapkan pada komoditas tersebut. Belajar dari pelarangan komoditas ekspor sebelumnya seperti nikel, pemerintah dan pengusaha seyogyanya memiliki persepsi yang sama dalam memuluskan rencana besar penataan ekonomi berbasis hilirisasi.
Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (KADIN) Indonesia Arsjad Rasjid mengatakan, kebijakan hilirisasi bakal mengubah peta usaha yang berdampak pada sejumlah investasi baru yang harus didatangkan ke Tanah Air. “Hilirisasi di komoditas nikel telah memberikan dampak bagi Indonesia, sekurang-kurangnya mempertegas peran Indonesia dalam peta transformasi transisi energi global,” kata Arsjad dalam keterangannya, Kamis (27/10/2022).
Arsjad mendukung penuh kebijakan hilirisasi yang terus didengungkan oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi). Kebijakan ini merupakan bagian dari upaya industrialisasi yang dapat memberikan dampak positif bagi perekonomian.
Dia mencontohkan, sebelum ada larangan ekspor, Indonesia menjual bahan mentah nikel dan membeli kembali dalam bentuk produk jadi dengan harga yang lebih mahal. Transformasi yang dilakukan pemerintah di komoditas ini telah meningkatkan nilai tambah hingga tujuh kali lipat.
Kebijakan hilirisasi telah dimulai pada 1 Januari 2020 melalui nikel. Dua tahun berjalan, hilirasi nikel memperlihatkan hasil positif. Data Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat ekspor produk turunan nikel meningkat pesat sejak 2020, atau sejak pelarangan ekspor bijih nikel diterapkan. Padahal pada periode 2014-2018, ekspor bijih nikel, feronikel, dan produk turunannya masih berkisar di angka US$2,5 miliar.
Permintaan pasar dunia menguat sejak 2019 menyusul kebutuhan stainless steel dan baterai mobil listrik berbasis nikel-kobalt yang terus melonjak. Begitu pula pada 2021, dan berlanjut hingga Agustus 2022 Indonesia mampu mengekspor nikel senilai US$12,35 miliar.
Hilirisasi nikel juga dilakukan pemerintah bukan hanya dari pasarnya yang potensial. Hal itu juga dilakukan lantaran Indonesia merupakan negara pemasok nikel dunia.
Indonesia memasok 37 persen dari volume nikel di pasar nikel dunia. Cadangan nikel Indonesia yang sudah teregister tercatat sekitar 21 juta ton setara nikel murni, di atas Australia (20 juta ton), Brasil (11 juta ton), Rusia (6,9 juta ton), Kuba (5,5 juta ton), dan Filipina (4,8 juta ton).
Selain berdampak positif terhadap kinerja ekspor nasional, hilirisasi atas sumber daya alam yang melimpah akan dapat memberikan dampak positif bagi perekonomian daerah, meningkatkan nilai tambah serta membuka lapangan pekerjaan.
Setelah resmi melarang ekspor bijih nikel, pemerintah sedang melakukan kajian untuk melarang ekspor komoditas tambang lainnya, seperti timah dan bauksit. Rencananya, pelarangan itu akan diterapkan pada tahun 2023. Larangan ekspor ore nikel kini sedang digugat di level global.
Arsjad menambahkan, KADIN terus mendorong pengusaha untuk mendukung arah transformasi pengelolaan komoditas Indonesia berbasis hilirisasi. Indonesia tidak bisa terus menerus mengekspor bahan mentah, sedangkan industri di dalam negeri harus mengimpor kembali bahan baku dari luar negeri.
Di pihak lain, hilirisasi akan berdampak pada penciptaan pusat industri baru yang berdampak pada kemajuan ekonomi nasional.
Namun, langkah tersebut harus mempertimbangkan juga kondisi riil dan kesiapan pengusaha serta industri di dalam negeri. Pemerintah dan pengusaha harus satu persepsi terkait sasaran yang ingin dicapai dan langkah demi langkah transisi industri menuju hilirisasi.
Para pelaku usaha di sektor komoditas timah saat ini masih belum menangkap dengan jelas pesan hilirisasi yang dicanangkan pemerintah. Bagi pelaku usaha, timah batangan ingot telah melalui proses pemurnian hingga 99,9 persen.
Selama ini, sekitar 98 persen produksi timah ingot di dalam negeri dilempar ke pasar ekspor. Hanya 2 persen dari produksi tersebut yang diserap di dalam negeri. Total ekspor logam timah mencapai 74 ribu ton, salah satu terbesar di dunia.
Kementerian ESDM menyatakan, jika ekspor timah benar-benar dilarang, Indonesia harus menyiapkan industri pengolahan dalam jumlah yang masif untuk menyerap produksi logam timah di dalam negeri.