Jalur Hijau Indonesia Emas 2045
DALAM waktu yang tidak lama lagi, 23 tahun, Indonesia akan memasuki tahapan Indonesia Emas. Pemerintah sudah mempersiapkan visi Indonesia 2045 dimana Indonesia akan menjadi negara maju berpendapatan tinggi (high-income developed country), dan menduduki peringkat empat dari lima kekuatan ekonomi terbesar dunia. Untuk mencapai cita-cita tersebut, Visi Indonesia Emas harus sejalan dengan tren dunia saat ini.
Tren dunia saat ini, tidak lain dan tidak bukan adalah masalah perubahan iklim atau climate change. Perkara perubahan iklim ini memang menjadi satu pokok bahasan yang mempersatukan (mayoritas) negara-negara di dunia. Ini karena dampak perubahan iklim tidak mengenal batas; apa yang terjadi di negara lain akan berdampak kepada negara lainnya. Perubahan iklim adalah crisis sans borders, crisis without borders; krisis yang melampaui batas geografis dan administrasi.
Paris Agreement 2015 yang disepakati dalam perhelatan COP 21 menjadi ikrar bagi (mayoritas) negara-negara di dunia untuk bersama-sama menjaga suhu bumi di batas yang telah disepakati. Kita harus bangga Indonesia menyatakan komitmen seriusnya dalam gerakan ini, melalui UU 16/2016 tentang Pengesahan Paris Agreement To The United Nations Framework Convention on Climate Change, yang kemudian disusul dengan sejumlah komitmen nasional seperti target penurunan emisi karbon sebanyak 29 persen di tahun 2030, peningkatan porsi penggunaan energi baru terbarukan dalam bauran energi nasional, dan target mencapai nol emisi (net zero emission) di tahun 2060.
Komitmen pemerintah ini layak diapresiasi, namun Indonesia harus bergerak lebih cepat dan lebih agresif lagi dari komitmen normatif tersebut.
Sebagai ketua umum Kadin Indonesia, yang adalah perwakilan para pengusaha nasional, saya ingin menjelaskan realita bisnis yang terjadi di luar sana. Crisis without borders ini sudah merubah tatanan bisnis, perdagangan dan investasi global, dimana tidak ada satu negara pun di dunia, termasuk Indonesia, akan memiliki kekebalan terhadap perubahan ini. Tuntutan pasar global atas produk-produk hijau nol emisi karbon adalah pendorong utama perubahan ini.
Seperti yang sudah banyak diberitakan belakangan ini adalah bahwa satu per satu lembaga investasi dan perbankan internasional menghentikan pinjaman kepada perusahaan di sektor energi fosil atau perusahaan dengan konsumsi energi fosil yang tinggi. Banyak perusahaan Indonesia yang terdampak dari kebijakan ini. Pola investasi global juga akan berubah. Negara-negara yang memiliki tingkat kepatuhan kepada standar lingkungan hidup akan menjadi tujuan favorit investasi asing.
Perusahaan prinsipal (principle company) akan menuntut seluruh perusahaan yang terlibat dalam rantai pasoknya (distributor dan pemasok) untuk beroperasi secara hijau; yang gagal memenuhi permintaan ini sudah dipastikan akan kehilangan purchase order. Dengan kata lain, persaingan untuk menarik FDI (Foreign Direct Investment) akan semakin ketat. Ke depan, perjanjian perdagangan multilateral juga akan berubah. Indonesia yang saat ini masih diuntungkan dengan skema tarif bea masuk barang impor harus segera bersiap. Ke depan, mekanisme perdagangan akan mengutamakan aspek-aspek non-tarif seperti perlindungan konsumen, termasuk di dalamnya kepatuhan kepada aturan lingkungan hidup.
KADIN menyadari bahwa perusahaan Indonesia tidak punya pilihan selain ikut berubah. Proses transisi ini sendiri memang tidak mudah. Melalui inisiatif Kadin Net Zero Hub (NZH) yang dicanangkan pasca COP 26 di Glasgow tahun 2021 lalu, Kadin membantu perusahaan nasional dalam melakukan transisi menuju perusahaan bebas emisi karbon atau yang lazim disebut sebagai Net Zero Company.
Menggunakan kerangka kerja SBTi (Science Based Target Initiatives), sebuah kerangka kerja internasional berdasarkan sains, KADIN memberikan pendampingan kepada perusahaan nasional untuk proses transisi ini, mulai dari sosialisasi penghitungan emisi karbon (dengan menggunakan GHG protocol), disclosure emisi karbon hingga penyusunan rencana kerja perusahaan untuk menurunkan emisi karbonnya. Inisiatif Kadin NZH mendapatkan dukungan yang sangat besar dari mitra kerja dalam dan luar negeri. Ini menunjukkan besarnya peran Indonesia, sebagai salah satu negara penghasil emisi karbon terbesar di dunia, dalam agenda transisi global.
Saat ini, melalui KADIN NZH, sebanyak 30 perusahaan nasional sudah berniat untuk berkomitmen (intent to pledge) untuk bertransisi menjadi Net Zero Company.
Kita sudah menetapkan sebuah visi bangsa yang hebat, babak baru suatu bangsa yang akan berumur 100 tahun. Namun, bagaimana Indonesia bisa bertransisi menjadi suatu high-income developed country mulai tahun 2045 bukan hanya kerja dan tanggung jawab satu pihak saja. Diperlukan kerja sama pemerintah, swasta dan publik dalam perjalanan ini. Masyarakat Indonesia memiliki peran yang sangat besar dalam perubahan ini.
Tuntutan akan produk-produk yang lebih ramah lingkungan akan memaksa perusahaan untuk segera bertransisi, namun upaya perusahaan nasional dalam memenuhi tuntutan pasar memerlukan dukungan kongkrit dari pemerintah. Tanpa dukungan nyata pemerintah, proses transisi hanya akan merupakan sebuah wacana belaka.
Secara teori, Indonesia memiliki kapital untuk menjadi peringkat empat dari lima kekuatan ekonomi terbesar di dunia, yaitu bonus demografi dan posisi Asia yang akan terus bertumbuh menjadi kekuatan perdagangan dunia. Kita harus menggabungkan kapital nasional, visi Indonesia Emas dan momentum global untuk segera memindahkan jalur perekonomian Indonesia ke jalur hijau, agar Indonesia tidak (lagi-lagi) kalah dari negara tetangga kita di ASEAN. Dua poin penting dalam upaya ini adalah Inklusif; mengajak semua pihak untuk terlibat, dan kolaboratif; bekerjasama gotong royong menciptakan jalur hijau menuju Indonesia Emas 2045. Duapuluh tiga tahun is just a blink of an eye.
Dirgahayu Republik Indonesia ke 77!
*Penulis: Arsjad Rasjid, Ketua Umum Kadin Indonesia
*Artikel ini sudah dimuat di RMOL.id