JAKARTA–Kamar Dagang dan Industri (KADIN) Indonesia memahami kebijakan kenaikan upah minimum yang ditetapkan pemerintah di tengah lonjakan inflasi sesuai dengan mekanisme dan regulasi yang berlaku. Namun, KADIN juga melihat keberlangsungan usaha penting untuk dilindungi, sehingga dapat memastikan ketersediaan lapangan pekerjaan, mengurangi pengangguran, dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
“Kebijakan pengupahan perlu bersifat adil, yang tidak memberatkan pelaku usaha dan tidak merugikan tenaga kerja/buruh. Pelaku usaha dan buruh atau tenaga kerja merupakan dua hal yang tidak dapat dipisahkan,” kata kata Ketua Umum Kadin Indonesia Arsjad Rasjid dalam keterangannya, Selasa (22/11/2022).
Pemerintah telah mengeluarkan kebijakan upah minimum pada tanggal 16 November 2022 melalui Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Nomor 18 Tahun 2022 tentang Penetapan Upah Minimum Tahun 2023 (“Permenaker No. 18/2022”) yang berlaku secara rata bagi semua industri.
Arsjad mengatakan, KADIN melihat tidak ada satu solusi yang dapat diterapkan bagi semua industri. “Pemerintah perlu merumuskan sebuah kebijakan pengupahan yang lebih tertarget dengan mempertimbangkan pertumbuhan ekonomi dan karakter tiap sektor industri,” katanya.
Arsjad Rasjid menuturkan pihaknya tidak menampik bahwa tantangan ekonomi global serta konflik geopolitik terus memicu lonjakan inflasi. Pada Oktober 2022, inflasi Indonesia telah mencapai 5,71 persen yang bakal berimbas pada kenaikan harga-harga bahan pokok dan daya beli masyarakat.
Di sisi lain, dengan tantangan yang sama, industri dalam negeri juga merasakan dampak yang berbeda-beda. Hal ini tercermin dari penurunan permintaan global yang berdampak pada ekspor Indonesia. Kinerja ekspor Indonesia tercatat turun 10,99 persen pada September tahun ini menjadi US$24,8 miliar dibandingkan pada bulan sebelumnya.
Ketidakpastian dan pelemahan ekonomi ini berdampak pada kondisi industri dalam negeri, terutama sektor industri padat karya sebagai penyerap tenaga kerja di Indonesia.
Selain itu, tidak semua sektor memiliki pertumbuhan yang sama tiap tahunnya. Misalnya, industri tekstil dan pakaian jadi mengalami pertumbuhan secara kumulatif hingga 11,38% pada triwulan III 2022. Di sisi lain industri makanan dan minuman yang hanya mengalami pertumbuhan sebesar 3,66%.
“Kebijakan kenaikan upah minimum pada satu periode sebaiknya ditargetkan pada industri dengan laju pertumbuhan ekonomi terbesar atau winning industry pada periode tersebut,” ujar Arsjad.
Arsjad menekankan kebijakan pengupahan juga perlu bersifat adil, yang tidak memberatkan pelaku usaha dan tidak merugikan tenaga kerja/buruh. Kata Arsjad, pelaku usaha dan buruh/tenaga kerja merupakan dua hal yang tidak dapat dipisahkan.
Arsjad menekankan sektor industri memiliki beberapa karakter yang tidak bisa disamakan. Contohnya, industri padat karya lebih banyak menggunakan tenaga manusia dan menciptakan lapangan pekerjaan. Sedangkan industri padat modal dibangun dengan modal besar dan didukung dengan teknologi tinggi.
Ada juga karakter industri berorientasi ekspor seperti industri alas kaki dan pakaian jadi. Industri berorientasi ekspor itu berbeda dengan industri dengan orientasi impor seperti industri makanan dari bahan baku sereal, industri plastik, dan industri perlengkapan elektrik.
“Dalam situasi pelemahan ekonomi global yang diproyeksikan akan berlanjut di 2023, KADIN berharap agar kebijakan kenaikan upah dibarengi dengan pemberian insentif bagi industri yang terkena dampak gejolak ekonomi global seperti industri padat karya dan yang berorientasi ekspor,” kata Arsjad.
Selain upah minimimun, KADIN juga menyoroti Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (”UU Cipta Kerja”) tetap berlaku sampai dengan adanya perbaikan UU sesuai tenggang waktu yang telah diputuskan oleh MK RI pada tanggal 25 November 2021.
Dengan masih berlakunya UU Cipta Kerja hingga saat ini, maka seluruh peraturan pelaksanaan/peraturan teknis dari UU Cipta Kerja juga masih tetap berlaku. Termasuk antara lain, Peraturan Pemerintah No. 36 Tahun 2021 tentang Pengupahan (”PP Pengupahan”) yang lahir dari UU Cipta Kerja.
Artinya, baik PP No. 36/2021 maupun Permenaker No. 18/2022 secara hukum harus dipandang berlaku dan keduanya memiliki keberlakuan yang mengikat selaku peraturan perundang-undangan sebagaimana ditentukan dalam UU No. 15 Tahun 2019 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
“Pada akhirnya, kita semua harus menyadari bahwa kesejahteraan buruh tidak semata-mata bergantung kepada upah. Untuk itu, KADIN berharap agar Pemerintah tidak terges-gesa, dan dapat merumuskan kebijakan secara holistik, adil dan inklusif, dengan mempertimbangkan semua kepentingan pihak terkait,” kata Arsjad.
Arsjad mengatakan, KADIN melihat pentingnya percepatan penyempurnaan UU Cipta Kerja yang mengatur hubungan perindustrian dan ketenagakerjaan secara menyeluruh. “KADIN mengajak seluruh pemangku kepentingan untuk mengutamakan dialog sosial dan musyawarah untuk mufakat demi mencapai titik tengah antara tenaga kerja dan industri. Tujuan akhirnya adalah untuk kesejahteraan bersama,” pungkas Arsjad.