Pandangan Arsjad Rasjid soal Hubungan Amerika-Indonesia

WASHINGTON – Peran Amerika Serikat (AS) di kawasan Asia Tenggara (ASEAN)  cenderung stagnan, sehingga kesempatan tersebut dimanfaatkan oleh China. Hal itu, antara lain dapat dilihat dari hubungan dagang dan investasi AS.

Pernyataan tersebut disampaikan pengusaha nasional Arsjad Rasjid yang saat ini sedang mengikuti Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) AS-ASEAN di Amerika Serikat (12/5). Presiden Joko Widodo dijadwalkan hadir dalam kegiatan tersebut dan saat ini telah tiba di AS bersama rombongan.

“Porsi perdagangan AS dengan Indonesia dan negara-negara ASEAN lainnya stagnan, yang kemudian diisi dan diambil alih oleh China,” paparnya.

Pada 2020, ungkapnya, porsi AS terhadap ekspor Indonesia hanya 11% dan 5,4% terhadap impor. Sementara China masing-masing sebesar 18% dan 29%. Jika dibandingkan dengan tahun 2010, ungkap Arsjad yang saat ini menjadi Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia, porsi AS memang cenderung statis. Sementara porsi China naik hampir dua kali lipat.

Berdasarkan data BPS, porsi ekspor dan impor AS terhadap Indonesia meningkat pada 2021 masing-masing menjadi 12,6% dan 6,4%. Demikian pula dengan China, pada 2021 porsi ekspor dan impornya terhadap Indonesia masing-masing menjadi 26,3% dan 32,1%.

Hal serupa terjadi pada investasi. Penanaman modal asing langsung atau Foreign Direct Investment (FDI) China jauh lebih tinggi dari FDI AS. Selain itu, dia menegaskan, China juga banyak terlibat dalam pembangunan konstruksi infrastruktur seperti jalan, pembangkit listrik, serta proyek lainnya.

Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), penanaman modal asal AS di Indonesia pada 2020 sebesar USD749,7 juta dan menjadi USD2,5 miliar pada 2021. Sebaliknya investasi dari China, pada periode yang sama mencapai USD4,8 miliar dan USD3,2 miliar.

Lebih lanjut Arsjad memaparkan, terkait dengan hubungan Indonesia dengan AS, yang dibutuhkan Indonesia adalah akses pasar. Jika memang tidak memungkinkan, masih ada peluang lain, yaitu berupa penanaman modal dan sharing teknologi.

Arsjad juga mengomentari tentang inisiatif baru yang digagas AS, yaitu Indo-Pacific Economic Framework. Program tersebut menandakan kehadiran kembali AS dalam kerja sama ekonomi dengan ASEAN.

Empat pilar dari inisiatif tersebut mencakup perdagangan yang adil dan tangguh; ketahanan rantai pasokan; infrastruktur, energi bersih, dan dekarbonisasi; dan pajak dan anti korupsi. Indonesia sangat penting terlibat dalam kerja sama ekonomi ini, dalam rangka memperkuat posisi serta akses pasar.

Menurut Arsjad, Indonesia memiliki peluang untuk mendapatkan manfaat dari hubungan kerja sama yang makin kuat, baik di tingkat regional maupun dengan negara maju seperti AS. “Indonesia berpotensi menjadi basis produksi atau peran strategis lainnya dalam rantai pasok, baik dalam kerja sama dengan ASEAN maupun inisiatif yang diusung oleh AS,” paparnya.

Apalagi, lanjutnya, posisi Indonesia sebagai Presidensi G20-B20 menjadi sangat strategis dalam mengangkat peran Indonesia di kawasan regional. Termasuk, mempererat hubungan dengan negara-negara utama seperti Amerika Serikat.

“Saat ini hubungan Indonesia dengan AS sangat baik, seperti ditunjukkan melalui dukungan negara tersebut terhadap rencana Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) G20-B20 yang akan di selenggarakan di Bali pada November tahun ini,” ujarnya.