Suku Bunga dan Upah Jadi Ancaman Pelaku Usaha
JAKARTA–Kenaikan suku bunga acuan pada pekan lalu sebesar 25 bps menjadi 5,5% menjadi tantangan tersendiri bagi pelaku usaha. Ditambah dengan kebijakan upah minimum dan penurunan permintaan ekspor, tantangan tersebut bakal akan memberatkan pelaku usaha pada sektor-sektor tertentu.
Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (KADIN) Indonesia, Arsjad Rasjid mengatakan, kenaikan suku bunga acuan bakal akan mengerek suku bunga riil. Menyusul kebijakan kenaikan upah minimum pada bulan sebelumnya, kedua kebijakan tersebut bakal akan berdampak pada pelaku usaha.
Dengan era suku bunga tinggi, kata dia, pelaku usaha cenderung akan menyikapi sebaliknya dengan tidak agresif melakukan ekspansi. Arus kas akan ditahan dan produksi akan dilakukan secara terukur, sesuai dengan permintaan di pasar.
“Suku bunga tinggi, ekspor melemah, dan kenaikan upah minimum merupakan kondisi yang terbilang kurang baik untuk sebagian sektor usaha, apalagi yang padat karya dan berorientasi ekspor. Perlu hati-hati untuk menentukan langkah lanjut ke depan,” kata Arsjad dalam keterangannya, Rabu (28/12/2022).
Arsjad menambahkan, dalam kondisi tersebut, stimulus pemerintah memang menjadi salah satu alternatif. Hal ini dapat mendorong pelaku usaha untuk tetap mempertahankan operasional saat ini dan mencegah gelombang PHK, sebagai akibat dari efisiensi perusahaan.
“Langkah akhir yang tidak kita inginkan adalah PHK karyawan. Karena penurunan ekspor, produksi melambat, kenaikan upah, dan suku bunga akan sangat mempengaruhi operasional perusahaan,” jelasnya.
Rapat Dewan Gubernur (RDG) Bank Indonesia pada 21-22 Desember 2022 memutuskan untuk menaikkan BI 7-Day Reverse Repo Rate (BI7DRR) sebesar 25 bps menjadi 5,5%, suku bunga Deposit Facility sebesar 25 bps menjadi 4,75%, dan suku bunga Lending Facility sebesar 25 bps menjadi 6,25%. Suku bunga acuan BI yang mencapai 5,5% tersebut mencatatkan rekor tertinggi sejak Agustus 2019.
Kenaikan suku bunga kebijakan BI yang cukup agresif, tersebut seiring langkah bank sentral untuk meredam inflasi di Indonesia. Inflasi yang digambarkan lewat Indeks Harga Konsumen (IHK) turun dari level 6% (yoy) pada September, 5,7% (yoy) pada Oktober, dan turun lagi menjadi 5,4% (yoy) pada November 2022.
Menurut Arsjad, dengan kondisi ekonomi saat ini, sebaiknya kebijakan yang berdampak pada efek domino terhadap pertumbuhan ekonomi perlu dipikirkan secara matang. Daya beli masyarakat memang menjadi tolok ukur untuk ekonomi tahun depan, namun tidak dengan cara menekan pelaku usaha yang tengah terpuruk karena perlambatan ekonomi global.