Peringatan Arsjad Rasjid tentang IPEF

JAKARTA – Pengusaha nasional Arsjad Rasjid  menuturkan, Amerika Serikat memberikan sinyal menyejukkan kepada negara-negara di kawasan Indo-Pasifik jika menerima kerja sama dalam Indo-Pacific Economic Framework (IPEF). Ada kemitraan yang berorientasi mempromosikan kepentingan ekonomi bersama.

Kendati demikian, dia mengingatkan, insiatif kerja sama ekonomi negara-negara di kawasan Indo-Pasifik –termasuk ASEAN- dengan Amerika Serikat (AS), jangan sampai terjebak pada kepentingan politik negara tersebut. Kata dia, persaingan AS dengan Cina terutama dalam dominasi ekonomi dan politik di kawasan tersebut belum berujung.

“Jangan sampai, IPEF hanya upaya politik AS untuk melawan China ketimbang inisiatif integrasi kebijakan ekonomi seperti dijanjikan,” ujarnya, Sabtu (21/5).

Untuk itulah, Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia itu menyarankan agar pemerintah Indonesia berhati-hati dalam mengambil keputusan terkait IPEF. Apalagi, jika melihat kontribusi AS terhadap perekonomian Indonesia saat ini masih tertinggal dari banyak negara lain.

Insiatif IPEF pertama kali dilontarkan oleh Presiden AS Joe Biden dalam pidatonya pada KTT Asia Timur (East Asia Summit) yang diselenggarakan pada 27 Oktober 2021. Pada kesempatan itu, Biden menyampaikan keinginan menjajaki pengembangan kerangka kerja ekonomi Indo-Pasifik.

Meski rinciannya belum diumumkan, IPEF ditengarai berbeda dari blok perdagangan pada umumnya yang didasarkan pada perjanjian perdagangan bebas. Inisiatif kerja sama ini rencananya akan diluncurkan bersamaan dengan lawatan Biden ke Jepang pada 22-24 Mei 2022.

Kerangka tersebut merupakan inti dari kebijakan ekonomi pemerintahan Joe Biden terhadap kawasan Indo-Pasifik. Presiden AS sebelumnya, Donald Trump, justru menarik diri dari Kemitraan Trans-Pasifik (Trans-Pacific Partnership/TPP) pada 2017.

Posisi Amerika Serikat sebagai negara dengan ekonomi terbesar di dunia, tentu menarik minat banyak negara untuk menjalin kerja sama. Bahkan sejumlah negara sudah menyatakan sikap bergabung, seperti Korea Selatan, Jepang, Singapura, dan Australia.

Menurut data Bank Dunia, Produk Domestik Bruto (PDB) AS mencapai US$21 triliun pada 2020. Angka tersebut menyumbang 24,7% perekonomian dunia secara keseluruhan.

Arsjad menyarankan agar Indonesia fokus pada aktivitas hubungan dagang dengan AS, jika memang ikut bergabung dalam blok tersebut. Terutama, ekspor komoditas yang menjadi kelebihan Indonesia serta kebutuhan AS.

Mengacu pada data kebutuhan AS terhadap barang impor, Indonesia dapat mendorong peningkatan ekspor komoditas reaktor nuklir, ketel, mesin dan peralatan mekanik (HS84). Kebutuhan impor AS untuk komoditas tersebut mencapai US$1,8 triliun, setara dengan 14,6% dari total impornya selama periode 2016-2020. Itulah komoditas impor terbesar negara tersebut.

“Indonesia memiliki potensi yang mumpuni di komoditas tersebut,” ungkap Arsjad.

Dia menjelaskan, pada 2016-2020, Indonesia mampu mengekspor barang kebutuhan AS itu senilai US$27,9 miliar, 3,4% dari total ekspor Indonesia ke dunia. Komoditas tersebut sejalan dengan pilar kerja infrastruktur, energi bersih, dan dekarbonisasi yang tercantum dalam IPEF, yang belum resmi diteken.

Pemerintah Indonesia juga dapat mendorong peningkatan ekspor untuk komoditas mesin dan perlengkapan elektrik serta bagiannya (HS85). Indonesia memiliki kapasitas untuk mengekspor komoditas tersebut mencapai US$43,7 miliar atau 5,3% dari total ekspor Indonesia ke dunia sepanjang 2016-2020.

Melalui IPEF, Indonesia juga berpeluang mendorong peningkatan kerja sama investasi dengan AS. Selama 2016-2021, Singapura menjadi negara utama yang menanamkan modal terbanyak di Indonesia, yaitu mencapai US$52,5 miliar atau 24,3% dari total Penanaman Modal Asing (PMA) Indonesia. AS hanya menanamkan investasinya senilai US$8,6 miliar atau 4,8% saja dari total PMA.